oleh Tim Redaksi Berkabar
Laiknya seorang pengelana, seorang antropolog juga memerlukan penunjuk arah agar tak tersesat dalam rimba relasi antara peneliti dengan subyek, antar peneliti maupun dampak dari penelitian yang dilakukan. Untuk itu diperlukan seperangkat kode etik yang mengikat secara profesional melalui lembaga profesi. Mengingat pentingnya pedoman kode etik ini, maka pada tanggal 15 Juli 2022 Dewan Komisi Etik AAI mengadakan sosialisasi Pedoman Etika Profesi AAI.
Dalam pembukaannya, Suraya Afiff selaku Ketua Umum AAI menyampaikan bahwa dalam satu tulisan karya Manasse Malo (Ed.) yang ditulis pada sekitar tahun 1985, AAI telah merumuskan seperangkat kode etik profesi antropolog.
Hanya saja kode etik ini belum mendapatkan pengesahan dari AAI. Informasi ini menjadi menarik karena selama ini AAI belum pernah mengesahkan Pedoman Kode Etik. Agar hal ini tak terulang, maka pengurus AAI periode 2021- 2026 telah mengesahkan kode etika profesi pada tanggal 10 Juli 2022. Akan tetapi Pedoman Kode Etik ini tak akan memiliki pengaruh apapun pada kemajuan bidang ilmu antropologi jika tak mampu disosialisasikan dengan baik.
Pertemuan sosialisasi ini dilakukan secara daring dengan melibatkan sekitar 55 orang dari pengurus pusat, pengurus daerah, pengurus bidang dan anggota AAI. Selly Riawanti dari Dewan Etika AAI bertindak sebagai moderator. Sementara itu Sri Paramita B Utami, juga dari Dewan Komsi Etik AAI, memaparkan pedoman kode etik yang telah disahkan.
Dokumen pedoman tersebut diawali dengan mukadimah yang menjadi basis pembuatannya pedoman. Lalu pada bab 1 diatur tanggung jawab dan kewajiban terhadap masyarakat, kebudayaan dan lingkungan; Bab 2 tentang tanggungjawab dan kewajiban terhadap masyarakat umum; Bab 3 tentang tanggung jawab dan kewajiban terhadap profesi antropologi; Bab 4 tanggung jawab dan kewajiban terhadap rekan seprofesi; Bab 5 tanggung jawab dan kewajiban dalam hubungan kerja; Bab 6 tanggung jawab dan kewajiban terhadap kelompok pembelajar, Bab 7 tanggung jawab dan kewajiban dalam pengabdian pada masyarakat; Bab 8 mengenai Dewan Pertimbangan Etika. Untuk selengkapnya dapat diunduh di website AAI.
Selain pemaparan Pedoman Kode Etik, juga dibahas kasus peneliti antropologi di Sulawesi Selatan yang digugat oleh sekelompok orang yang mengaku menjadi bagian dari komunitas yang diteliti. Diskusi mengenai kasus ini memunculkan pembahasan kritis peserta terhadap perlunya kode etik, tidak hanya kode etik sebagai seorang antropolog tetapi juga kode etik AAI sebagai lembaga. Terdapat beberapa hal yang dirasa perlu seperti ketika seorang peneliti melakukan penelitian di suatu daerah maka perlu diatur pula untuk saling tahu apa yang telah dilakukan oleh peneliti setempat atau Pengurus Daerah dengan tema penelitian tersebut.
Ada pula pembahasan mengenai hak karya intelektual yang belum dibicarakan meskipun di beberapa negara telah ada perdebatan panas mengenai penelitian etnosains dan memunculkan persoalan ketika dipublikasikan dan memunculkan protes mengenai kepemilikan pengetahuan lokal yang bersifat kolektif.
Selain pemaparan Pedoman Kode Etik, juga dibahas kasus peneliti antropologi di Sulawesi Selatan yang digugat oleh sekelompok orang yang mengaku menjadi bagian dari komunitas yang diteliti. Diskusi mengenai kasus ini memunculkan pembahasan kritis peserta terhadap perlunya kode etik, tidak hanya kode etik sebagai seorang antropolog tetapi juga kode etik AAI sebagai lembaga. Terdapat beberapa hal yang dirasa perlu seperti ketika seorang peneliti melakukan penelitian di suatu daerah maka perlu diatur pula untuk saling tahu apa yang telah dilakukan oleh peneliti setempat atau Pengurus Daerah dengan tema penelitian tersebut.
Dalam konteks profesi, dalam diskusi ini juga muncul perdebatan mengenai seberapa jauh Pedoman Kode Etik ini perlu dipatuhi. Hal ini mengingat para lulusan antropologi tidak semuanya bekerja dalam ranah akademis atau linier di satu bidang. Akibatnya, pengaturan etika profesi akan lebih rumit apabila ditemukan hal-hal yang bertentangan pada pasal yang diatur dalam kode etik profesi AAI sementara dalam birokrasi atau bidang lainnya diperbolehkan.
Begitu juga ketika berhadapan dengan persoalan lingkungan dimana perlu ada penjelasan lebih lanjut mengingat bidang profesi antropolog yang bermacam-macam. Tidak hanya pada isu konservasi lingkungan saja tetapi juga di pertambangan, dan sebagainya.
Lebih lanjut, dalam kesempatan diskusi ini pula Ketua Umum AAI mengundang anggota AAI untuk berkontribusi dalam kerja sosialisasi Kode Etik Profesi AAI. Caranya dengan menuliskan pengalaman penelitian maupun kerja-kerja di bidang lain sebagai antropolog agar menjadi pembelajaran bagi anggota yang lain. Tulisan dapat dikirimkan ke jurnal-jurnal akademis, seminar atau dapat dikirim ke redaksi Berkabar.
Keragaman profesi dan cara pandang dari para anggota AAI Ini menjadi kekayaan untuk memajukan ilmu Antropologi Indonesia. Untuk itu, Selly Riawanti selaku Ketua Dewan Komisi Etik AAI dalam penutupnya menyampaikan bahwa ke depan akan mengadakan diskusi yang lebih terfokus untuk merumuskan pedoman teknis Kode Etik AAI. Tentu saja dengan melibatkan anggota AAI dengan latar belakang profesi yang berbeda.