AAI Yogyakarta: Tuturan dari Prof. Laksono
Oleh: Tim Kerabatoleh Dewi Widyastuti dan Rahmat Gunawan (Tim Redaksi Berkabar)
Insalata Caprese buatan Prof Laksono menyambut di rumahnya, 9 Maret 2022. Dengan baju santainya, Guru Besar Antropologi UGM bercerita tentang AAI yang tak bisa dilepaskan dari berdirinya Antropologi UGM 1964. UGM baru memiliki dosen dari sarjana antropologi sekitar tahun 1970an yaitu Pak Kodiran yang dikirim oleh Pak Koentjaraningrat dari UI dan Pak Hans Daeng, kepala sekolah SMA Syuradikara, Ende. Kemudian 1973 program doktoral antropologi ditutup karena tidak memenuhi persyaratan seperti dosen yang cukup, sarana prasarana seperti perpustakaan. Sementara itu, di Indonesia yang bisa menyelenggarakan program hanyalah UI karena ada Prof. Koentjaraningrat, Pak Boedhi Santosa; di UNPAD ada Prof. Harsoyo; dan Unsrat bisa menyelenggarakan program sarjana.
Selanjutnya 1977, Pak Masri Singarimbun, dosen di Fakultas Ekonomi UGM bersama Pak Hans Daeng dan temannya seperti Pak Sjafri Sairin, Pak Hari Poerwanto, Pak Kodiran sepakat untuk mendirikan program sarjana. Disitulah Prof. Laksono dan Prof. Heddy Sri Ahimsa-Putra mendaftar kembali program sarjana. Alih-alih belajar dengan tenang, hanya beberapa minggu program tersebut ditutup oleh Konsorsium Fakultas Sastra karena dinilai tidak memenuhi kriteria kelengkapan. Laksono muda tidak diam, cara penutupan program studi tersebut dianggap sangat arogan, “nah, kami mendengar itukan sedih. Sebagai mahasiswa, saya gak terima bangetlah. Kalau caranya begini, kita diinjak-injak orang, kita harus bangun dengan kaki sendiri”, tuturnya mengenang.
Beliau lalu mengkonsolidasikan dengan kawan- kawannya membangun ruang kuliah dan perpustakaan melalui penelitian khusus transmigrasi Pusat Studi Kependudukan 1977. Pak Masripun menyetujui hingga mendapat pendanaan 8,5 juta rupiah. “Syarat honornya dipotong 50% untuk bikin 1 ruang belajar dan perpustakaan antropologi, terkumpullah waktu itu uang 3,5 juta dari dosen dan teman—teman antropologi”, katanya. Ruang itu bernama Kandang Antro yang kini berganti Gedung Soegondo di UGM.
Saat proses pembuatan ruang, Prof Laksono dan Prof Heddy Shri Ahimsa diterima untuk melanjutkan studi di UI. Hal tersebut menjadikan mereka dikenal sebagai Anak UI sekaligus UGM dan menjadi salah satu yang tergabung dalam AAI di masa pendiriannya, “Saya kuliah di UI tahun 80-an kira-kira AAI baru mulai berdiri, tahun persisnya saya lupa, hanya ingat urutannya Kongres pertama di Jakarta, kemudian di Denpasar”. Riwayat AAI bermula dari UI dengan terbentuknya Ikatan Kekerabatan Antropologi (IKA) UI dan jurnal bernama Berita Antropologi UI yang kini menjadi Jurnal Antropologi Indonesia. Dari UI, jaringan diperluas keseluruh Indonesia. Isu kala itu mengenai standarisasi mutu kelulususan, sertifikasi dan lainnya yang saat ini dinilai masih belum terselesaikan. Isu antropologi yang paling mendasar bagi Prof Laksono yaitu agar antropolog betul-betul dilahirkan dimana mereka memiliki mentalitas antropolog yang mampu mengapresiasi orang lain dan menemukan dirinya di dalam diri orang lain sehingga terwujud solidaritas, keterbukaan, toleransi, dan mengerti realita antar budaya.
Kisah pengalaman jatuh bangun yang dilalui membuat Prof. Laksono percaya, hanya dengan kualitas diri yang kuat maka persoalan bisa dipecahkan. Pesannya, “jika kita mau maju kita berharap pada diri sendiri, kita berikan apa yang bisa kita berikan kepada dunia, jangan mengharapkan dunia mengasih kepada kita”. Dalam AAI, jaringannya menjadi satu kekuatan dimana kita membutuhkan relasi yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bentuk uang. Solidaritas menjadi penting. AAI juga memiliki kelebihan yang luar biasa baik secara jaringan ataupun kelembagaan. AAI menjadi inti dalam mendukung tumbuhnya kerja serius, jujur, holistik tapi tetap santai tanpa melupakan bahwa setiap Pengda memiliki karakter yang berbeda. AAI sebagai Lembaga memiliki legalitas dan otoritas melaksanakan berbagai kegiatan, misalnya mendorong berbagai universitas untuk mendirikan jurusan antropologi dengan didukung penuh oleh para antropolog yang tergabung, mengingat antropologi kini mulai banyak peminatnya.Hari sudah malam, tapi semangat membangun AAI semoga tak pernah padam. Ibarat membuat Insalata Caprese, memperkuat AAI dimulai dengan berproses perlahan, dari yang kecil, penuh ketekunan hingga ketahapan berikutnya sehingga dapat dinikmati bersama dalam jamuan.