oleh Selly Riawanti (Ketua Dewan Pertimbangan Etik AAI)
Dalam buku tulisan Pak Manasse Malo (ed.) berjudul “Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial Di Indonesia Sampai Dekade ’80-an” mengatakan bahwa tahun 1985 AAI sudah menyusun kode etik dan tidak tersosialisasi dengan baik. Tetapi setidaknya pada tahun 1997, AAI telah memiliki dokumen resmi yang berjudul Pedoman Etika Profesi Antropologi. Dokumen ini merupakan hasil pertemuan akbar atau kongres AAI pada tahun tersebut dan menghasilkan kepengurusan baru AAI di bawah pimpinan Dr. Kartini Sjahrir. Pedoman itu sebagian besar berisi norma-norma bagi antropolog dalam berhubungan dengan berbagai pihak untuk kepentingan akademik maupun praktis. Intinya melindungi kepentingan atau tidak merugikan pihak yang bekerjasama dengan antropolog; bersikap jujur dan terbuka tentang penelitian atau kegiatan yang hendak dilakukan; memastikan bahwa pihak lain bersedia bekerja sama setelah mengetahui tujuan penelitian atau kegiatan tersebut; hasil penelitian tidak dirahasiakan; dan menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan penelitian.
Pedoman 1997 itupun disebarluaskan melalui pengurus daerah AAI dan jejaring individu- individu anggota AAI. Jikalau diperlukan, bisa meminta kepada sekretariat AAI. Saya sendiri menggunakan dokumen itu sampai tahun 2016 untuk keperluan kuliah, khususnya Pengantar Antropologi. Terkadang sesama pengajar antropologi saling bertanya dan berdiskusi tentang sumber lain mengenai etika antropologi. Lantas kami merujuk ke buku-buku ajar lainnya mulai dari buku pengantar antropologi seperti karangan C. P. Kottak, Introduction to Anthropology (1991), atau buku metode penelitian antropologi, seperti dari J.P. Spradley, The Ethnographic Interview (1980), atau B. Russel, Research Methods in Anthropology, atau P. Atkinson dkk. (2001), Handbook of Ethnography. Topik etika juga lazim tercantum di buku metode penelitian umum bagi ilmu-ilmu sosial seperti tulisan E. Babbie, The Practice of Social Research (1986), dan di kemudian hari di buku-buku tentang metode penelitian kualitatif seperti dari J.W. Cresswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches (1994), dan banyak lagi.
Sekian banyak bahan ajar tersebut, ada hal yang menarik yaitu topik etika tidak tercantum dalam buku-buku ajar antropologi di Indonesia, baik di Pengantar Antropologi dari Koentjaraningrat maupun dari Harsojo (pendiri jurusan antropologi di Unpad) bahkan juga absen di buku Metode-metode Penelitian Masyarakat suntingan Koentjaraningrat yang begitu populer. Isu etika kadang-kadang muncul tipis-tipis saja dalam pengajaran ketika ada pembahasan tentang prinsip relativisme budaya: bagaimana seorang antropolog tidak boleh menilai kebudayaan liyan dengan tolok ukur kebudayaannya sendiri?
Di luar kelas-kelas antropologi, diskusi-diskusi tentang etika antropologi terutama dalam penelitian juga relatif jarang. Kalau ada perbicangan hangat, biasanya dipicu oleh suatu peristiwa etika yang terjadi di luar negeri. Misalnya ketika terbit buku Derek Freeman, Margaret Mead and Samoa: The Making and Unmaking of an Anthropological Myth (1986) tentang hasil penelitiannya yang berbeda sama sekali dari hasil studi Margaret Mead. Menurut Freeman, kehidupan seksual para remaja Samoa bukannya tanpa masalah seperti yang digambarkan Mead sehingga dicurigainya bahwa Mead hanya mencari dan menyampaikan data dari orang-orang yang terdekat saja dalam penelitiannya. Sementara itu sebagian publik antropologi mencela Freeman yang mengemukakan kritiknya ketika Margaret Mead sudah meninggal dunia. Sekelompok kecil mahasiswa antropologi UI bersama seorang dosen mereka, Parsudi Suparlan, membahas isu Mead vs Freeman. Hasilnya dipublikasi hampir sehalaman penuh di harian Kompas, mestinya berkat jasa Rudy Badil, wartawan Kompas yang alumni antropologi UI. Beberapa tahun kemudian, Parsudi Suparlan memberikan pengantar untuk sebuah buku terjemahan karya Edward Shils, Etika Akademis (1993). Namun yang dibicarakannya lebih tentang tanggung jawab dosen membangun etika akademik.
Lama kemudian, setelah Kongres AAI tahun 2016, naskah Pedoman Etika Profesi Antropologi itu diperiksa dan diperbaiki redaksinya oleh Pengurus AAI yang baru dan dimuat di salah satu laman yang dibangun beberapa alumni antropologi Unpad, antronesia.com. Saya termasuk anggota dari Dewan Pertimbangan Etik dari masa kepengurusan 2016-2021.
Namun demikian, sepanjang masa itu pun tidak pernah kami berdiskusi soal etika antropologi. Mungkin karena tidak muncul masalah juga. Jangankan di Indonesia, di Amerika Serikat pun, perbincangan tentang etika antropologi konon baru menghangat bila ada kasus (lihat a.l. Fluehr-Lobban 2013). Kebetulan di sana banyak kasus diantaranya keterlibatan antropolog di dalam kegiatan-kegiatan politik, bahkan peperangan antarnegara yang mengundang kritik-diri sangat keras di kalangan sesama antropolog.
Baru menjelang habis masa kepengurusan AAI 2016-2021, beberapa anggota Dewan Pertimbangan Etik meninjau Pedoman Etika Antropologi tersebut, yang ternyata lebih terfokus kepada penelitian dan penerapan hasil penelitian antropologi. Padahal judul pedoman itu adalah “Pedoman Etika Profesi”, sehingga seharusnya menyentuh juga pekerjaan antropolog di luar bidang pendidikan dan penelitian. Juga termasuk isu-isu terbarukan seperti digitalisasi dalam penelitian dan pekerjaan-pekerjaan para antropolog, hubungan dengan lingkungan yang lebih luas (tidak hanya dengan sesama manusia saja) dan lain-lain. Persoalan tersebut mencuat dalam obrolan WhatsApp antar anggota dewan. Diskusi resmi pun dibuatlah, mengundang semua anggota AAI yang berminat dan berujung di tahap Pra- Kongres AAI 2021. Ide-ide dimatangkan dan dimuat dalam pedoman yang baru, yang akhirnya disahkan dalam Kongres AAI 2021.
Meskipun demikian masih banyak yang harus dikerjakan untuk menyempurnakan pedoman itu. Salah satu yang penting adalah menyusun petunjuk teknis tentang pelaksanaan kewenangan Dewan Pertimbangan Etik bilamana muncul dugaan pelanggaran etika, baik yang dilaporkan oleh sesama anggota AAI atau yang dikeluhkan oleh orang lain, termasuk tineliti atau orang lain yang bekerja dengan antropolog.
Selain itu juga masih harus bekerja untuk menjabarkan pedoman etika penelitian antropologi bagi para anggotanya dan menyusun pedoman etika bagi AAI sebagai suatu organisasi antropolog. Tentu saja gagasan tidak terbatas dari ketujuh anggota dewan ini. Kami mengundang Anda yang berminat untuk memeriksa naskah Pedoman Etika Profesi AAI di laman kita ini, https://asosiasiantropologi.or.id/ Kritik dan masukan dari sesama anggota AAI, dari sesama antropolog dan dari bukan-antropolog, melalui berbagai cara dan media, sangat diperlukan bagi perbaikan pedoman etika kita bersama. Salam kerabat.