Seruan Aksi AAI – Tolak Segala Bentuk Kekerasan!
Oleh: Admin AAISeruan Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI)
No: 108/IX/AAI/2025
Tolak Segala Bentuk Kekerasan
Kami sampaikan duka cita yang mendalam atas jatuhnya korban baik dari kalangan yang berpartisipasi dalam kegiatan unjuk rasa maupun dari anggota masyarakat yang turut menjadi korban terimbas situasi sosial-politik saat ini. Kehilangan mereka adalah luka bagi keluarga dan bagi kita semua, sekaligus pengingat bahwa setiap suara harus selalu dihargai serta setiap nyawa manusia seharusnya mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan.
Gelombang unjuk rasa yang merebak di berbagai kota tidak lahir tiba-tiba, melainkan akumulasi kekecewaan atas kebijakan yang dianggap jauh dari rasa keadilan. Kenaikan pajak Pertambahan Nilai (PPN)12 persen, lonjakan fantastis PBB di sejumlah daerah, revisi UU TNI, serta pembahasan RUU KUHAP tanpa partisipasi bermakna telah memperdalam jurang ketidakpercayaan publik. Masyarakat menganggap perilaku sejumlah kalangan di pemerintah dan DPR jauh dari rasa empati dan tidak sensitif dengan kesulitan ekonomi yang dialami rakyat kebanyakan. Di saat janji 19 juta lapangan kerja tak terbukti, rakyat justru menghadapi pengangguran tinggi, PHK massal, dan beban hidup yang makin berat tanpa solusi nyata dari pemerintah.
Penderitaan juga dialami warga di lokasi Proyek Strategis Nasional. Pemerintah dan DPR tidak serius dengan kesulitan yang dialami oleh masyarakat di pedesaan, khususnya di lokasi berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Penggusuran paksa merampas ruang hidup, sementara lingkungan sekitar rusak dan tercemar. Mereka yang menuntut hak malah berhadapan dengan teror, kekerasan aparat, dan kriminalisasi. Kasus-kasus ini memperlihatkan bagaimana kepentingan oligarki lebih dilindungi ketimbang nasib rakyat biasa.
Dari perspektif antropologi, demonstrasi yang berujung ricuh dan kerap memunculkan kekerasan, perlu dipahami dari berbagai sisi. Di sisi publik, kekerasan dapat dimaknai sebagai simbol kekuatan kolektif ketika masyarakat merasa suara dan rasa prihatin mereka selama ini tidak didengar, yang akhirnya meledak dalam aksi spontan penuh energi emosional. Di sisi lain alih-alih meredam, polisi menggunakan kekerasan yang mereka anggap sebagai simbol kekuasaan untuk memaksakan kepatuhan dengan cara menyebarkan ketakutan. Praktik ini dianggap normal dan mencerminkan kekerasan struktural yang membentuk kelembagaan kepolisian saat ini.
Kerusuhan dan perusakan fasilitas publik yang muncul seringkali tidak berdiri sendiri. Perusakan fasilitas publik, termasuk penjarahan tidak saja pada rumah pribadi, lokasi bisnis, seruan yang menyasar etnik tertentu, dan juga penjarahan artefak museum di Jawa Timur, sebagian dilakukan oleh kelompok dengan tujuan kriminal. Namun publik juga meyakini adanya rekayasa untuk mendiskreditkan gerakan sipil, sebagaimana terungkap dalam investigasi kasus pembakaran halte Sarinah pada Oktober 2020 yang menunjukkan indikasi kuat keterlibatan aparat. Pola serupa kembali muncul dalam unjuk rasa terakhir, memperkuat keyakinan bahwa aparat justru kerap memperkeruh situasi alih-alih meredakannya. Berbagai pandangan netizen turut menguatkan kecurigaan publik bahwa polisi bukanlah pihak yang dapat dipercaya menjaga ketertiban secara adil.
Hak untuk menyampaikan pendapat dijamin konstitusi dan harus berlangsung tanpa kekerasan. Pemerintah wajib membuka ruang aman bagi rakyat untuk bersuara, membangun dialog yang terbuka dan adil, serta mengelola perbedaan dengan pendekatan persuasif. Hanya dengan langkah ini kepercayaan publik bisa dipulihkan dan siklus kekerasan dapat diakhiri.
Kami, seluruh anggota Asosiasi Antropologi Indonesia meminta agar:
- Presiden Prabowo harus membuka dialog luas dengan publik.
Bukan hanya berbicara dengan elite politik atau lingkaran terdekat, tetapi juga mendengar suara akademisi, organisasi profesi, LSM, mahasiswa, masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, penyandang disabilitas, buruh, dan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini penting agar kebijakan pemerintah tidak bias dan mampu menjawab kepentingan publik secara adil.
- Bentuk Tim Independen yang kredibel.
Tim ini perlu melibatkan Komnas HAM, YLBHI, dan pihak lain yang dipercaya publik untuk menelusuri akar masalah dan merumuskan langkah perbaikan fundamental. Pemerintah tidak boleh sekadar “memadamkan api”, tetapi harus menangani akar penyebab munculnya unjuk rasa dan kerusuhan.
- DPR, MPR, dan DPD harus menjalankan transparansi penuh.
Setiap anggota legislatif wajib melaporkan dana yang diterima dan penggunaannya secara terbuka agar publik bisa mengawasi kinerja mereka. Selain itu, segera tuntaskan RUU Perampasan Aset Koruptor yang ditunggu masyarakat, serta pastikan semua pembahasan undang-undang berlangsung transparan dan melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
- Partai politik harus mereformasi diri secara mendasar.
Parpol perlu benar-benar menjadi wakil rakyat, bukan alat kepentingan elit dan oligarki. Reformasi internal diperlukan untuk melahirkan kader berkualitas yang mampu mengoreksi kebijakan pemerintah yang menimbulkan ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi.
- Lembaga kepolisian harus direformasi secara mendasar.
Praktik abuse of power harus diakhiri dengan melarang penggunaan peluru tajam, gas air mata, dan pentungan dalam penanganan aksi. Kekerasan yang dinormalisasi hanya memperburuk situasi dan mendorong massa membalas dengan kekerasan. Kebijakan polisi untuk menormalisasi kekerasan yang dipertunjukkan sangat masif justru menyulut kemarahan dan mendorong massa mereplikasi kekerasan itu kepada sesama dan kepada polisi sendiri. Polisi harus menghentikan siklus kekerasan ini.
- Bebaskan pengunjuk rasa dari intimidasi dan kriminalisasi.
Mereka yang ditangkap harus dijamin haknya bebas dari kekerasan aparat, mendapat pendampingan hukum, dan segera dilepas jika tidak bersalah. Hak konstitusional menyampaikan pendapat tidak boleh diganggu.
- Tolak alasan penetapan darurat militer.
Alasan untuk menetapkan darurat militer yang menjustifikasi keterlibatan TNI dalam mengatasi aksi protes hanya akan menambah eskalasi ketegangan dan mempersempit ruang demokrasi.
- Komdigi harus menjamin keterbukaan informasi.
Komdigi harus memastikan publik bisa mengakses informasi yang bertanggung jawab. Alih-alih melarang liputan media atau menghalangi jurnalis, Komdigi wajib memastikan perlindungan terhadap jurnalis dan citizen journalism. Langkah yang dibutuhkan adalah memperkuat literasi digital masyarakat, melawan hoaks, dan mencegah misinformasi, bukan membatasi kebebasan pers dan media.
- Publik perlu menjaga diri dan bersikap kritis.
Publik diharapkan saling menjaga, menahan diri dan waspada pada pihak-pihak yang ingin memancing di air keruh dan jangan mudah terprovokasi isu identitas berbasis etnik atau agama, serta jangan percaya pada ajakan aksi tanpa kejelasan sumber. Waspadai provokasi yang bertujuan mendorong penjarahan atau memperkeruh situasi.
- Penyelenggara negara harus menjadi teladan.
Para penyelenggara negara di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dihimbau untuk menjadi teladan melalui gaya hidup yang bersahaja, berempati pada kesulitan rakyat, dan memastikan anggaran negara digunakan secara bertanggungjawab dan terukur. Setiap kebijakan dan tindakan harus menunjukkan solidaritas terhadap beban ekonomi masyarakat dengan memprioritaskan belanja publik untuk kebutuhan pokok seperti pangan, kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial, serta menghindari keputusan yang justru mengganggu rasa keadilan rakyat.
Jakarta, 1 September 2025
Asosiasi Antropologi Indonesia