Antropologi dan Kerja Diplomasi Budaya
Oleh: Tim Kerabatoleh: Mokh Sobirin (wawancara dengan Dr. Kartini Sjahrir)
“Antropologi itu ilmu apa?” tanya ayah saya saat beliau mengetahui jurusan yang saya pilih ketika kuliah di Universitas Indonesia pada awal 1970-an. Sebuah pilihan yang tidak begitu familiar bagi keluarga Batak yang biasanya menjadikan jurusan hukum atau ekonomi sebagai pilihan pertama. Saya pun menjelaskan antropologi merupakan ilmu untuk memahami karakter budaya banyak masyarakat. Berpuluh tahun kemudian pertanyaan tentang apa itu antropologi masih saja kita hadapi, seolah-olah kita dituntut untuk selalu menjelaskan apa kegunaan antropologi sebagai sebuah ilmu. Tulisan ini sedikit menjelaskan pengalaman saya sebagai seorang antropolog yang terlibat dalam isu-isu kebijakan publik.
Sebagai seorang perempuan yang menggemari petualangan alam, antropologi telah membuka jalan bagi saya berpetualang ke banyak pengalaman. Petualangan saya berawal sejak masa kuliah, diawali dengan perkenalan terhadap keragaman budaya masyarakat.
Para dosen di Antropologi UI melatih dengan ketat mahasiswanya untuk menulis dan mengamati ragam corak kebudayaan di berbagai masyarakat. Proses ini membentuk karakter seorang antropolog yang terbuka dan toleran terhadap ragam perbedaan ekspresi kebudayaan.
Banyak orang mengira ilmu antropologi tidak berkaitan dengan kerja-kerja diplomasi. Namun pengalaman saya sebagai duta besar untuk tiga negara yaitu Argentina, Paraguay, dan Uruguay, membuktikan hal yang sebaliknya. Sebagai seorang duta besar, saya memperkenalkan Indonesia sebagai negara dengan tiga krakteristik penting: pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam latar belakang kebudayaan; kedua, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia; ketiga, terdapat banyak hutan mangrove di Indonesia yang relevan dalam isu pemanasan global hari ini. Tiga hal inilah yang terus saya kabarkan ke berbagai pihak yang saya temui selama bertugas.
Kerja diplomasi ini tak hanya berupa jamuan makan dan acara formal, namun juga dapat berupa perjalanan ke banyak tempat terpencil. Selama menjadi duta besar, saya terbiasa berkendara ratusan kilometer untuk berkunjung ke berbagai tempat dan berkesempatan untuk mengenal kebudayaan lokal. Misalnya menemui suku Indian Guarani di Uruguay untuk mengetahui kehidupan mereka. Pada kesempatan lain saya berkunjung di biara yang jauh dari pusat kota dan menikmati makanan serta penginapan sederhana yang mereka sediakan.
Pengalaman ini meyakinkan diri saya bahwa para antropolog harus lebih banyak bersuara untuk menyampaikan sumbangan pemikiran bagi isu-isu kemasyarakatan. Kita perlu menyadari bahwa kebijakan tidak berada di ruang hampa, melainkan berada dalam satu konstruksi kebudayaan tertentu. Oleh karena itu kerja-kerja perumusan kebijakan publik perlu menjadi wilayah yang diakrabi oleh para antropolog demi memberikan ruang pada keragaman ekspresi kebudayaan.
Dalam konteks inilah AAI perlu menjadi wadah bagi pengembangan kapasitas Antropolog Indonesia dan menjadi media komunikasi untuk penguatan jejaring kerabat antropolog yang bekerja dalam isu-isu publik.