Mengembangkan AAI sebagai Organisasi Profesi yang Relevan dan Kredibel
Oleh: Tim Kerabatoleh Suraya Afiff
AAI Berkabar- Vol. 1 No. 3 Maret 2022
Tidak terasa tanggal 12 Maret ini, AAI sebagai satu- satunya organisasi profesi di bidang antropologi genap berusia 39 tahun. Namun pekerjaan rumah kita masih cukup banyak untuk menjadikan AAI dapat dipandang sebagai organisasi profesi yang relevan, penting, dan memiliki kredibilitas yang tinggi. Tulisan ini bermaksud menggambarkan sebagian dari tantangan yang perlu kita jawab untuk mewujudkan tujuan itu.
Ketika mendengarkan penjelasan Profesor Budhisantoso, tentang alasan beliau ikut mendorong terbentuknya AAI, saya semakin menyadari keberadaan AAI dapat memiliki arti dan makna yang berbeda di setiap konteks zamannya. Dengan kata lain, peran AAI di masa lalu, kini dan yang akan datang mungkin perlu selalu disesuaikan dengan konteks tantangan zamannya masing-masing. Lalu apa yang sebaiknya perlu kita kembangkan di dalam AAI agar dapat mendiskusikan hal ini? Selama ini kesempatan untuk mendiskusikan peran organisasi kelihatannya hanya tersedia di saat penyelenggaraan kongres, artinya setiap 5 tahun sekali. Namun apabila kita ingin mendapatkan hasil yang lebih baik, yaitu menghasilkan gagasan yang realistis dijalankan, substantif, strategik dan tidak sekedar menghasilkan “daftar keinginan,” maka secara bertahap kita perlu mendiskusikannya dan tidak menunggu sampai saat kongres. Hal-hal yang substantif ini dapat terkait dengan tata kelola organisasi, relasi AAI dengan berbagai pihak, maupun terkait dengan perkembangan profesi antropologi itu sendiri secara luas. Kita berharap dapat memulai proses diskusi ini dengan mencari ruang di antara penyelenggaraan International Symposium Jurnal Antropologi Indonesia ke 8 di Manado, Sulawesi Utara pada bulan Agustus tahun ini.
Tantangan setiap pengurus AAI di semua level adalah mencari strategi untuk mengembangkan kegiatan yang dapat menampung harapan anggota dari beragam latar belakang dan generasi. AAI tidak akan berkembang baik bila anggota tidak merasa kehadirannya punya manfaat. Maka membangun komunikasi secara reguler antara pengurus dan anggota merupakan prasyarat untuk dapat menentukan manfaat secara kolektif. Masa pandemi telah membuat kita terbiasa dengan berkomunikasi lewat sosial media dan pertemuan daring. Namun kita sangat tahu berkomunikasi secara online tidak dapat menggantikan pentingnya pertemuan secara tatap muka, bila dimungkinkan. Mengembangkan berbagai strategi untuk berkomunikasi penting untuk dipikirkan agar AAI dapat tumbuh sebagai organisasi yang dijalankan dengan prinsip egaliter, inklusif, toleransi, berwawasan terbuka, tansparansi, dan independen. Jelas, hal ini tidak dapat terjadi dengan sendirinya tanpa semua pihak saling membantu untuk mewujudkannya. AAI hanya mungkin berkembang menjadi organisasi yang kita harapkan apabila semua pihak ikut terlibat dalam membangunnya.
Tantangan lainnya dalam pengembangan organisasi adalah menentukan posisi AAI dalam berbagai isu di masyarakat. Sebagai organisasi masyarakat sipil, AAI perlu mempertahankan posisinya yang non- partisan. Non-partisan bukan berarti AAI tidak dapat menentukan sikap atau beradvokasi untuk memperjuangkan suatu sikap politik tertentu. Sampai saat ini menurut saya, kita belum pernah membahas secara tegas ketentuan atau rambu-rambu tentang kerja advokasi ini dan bagaimana mekanisme yang akan dan perlu dijalankan AAI ketika dianggap perlu menentukan posisinya dalam berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Kita perlu membahas bagaimana proses untuk menentukan sikap AAI dalam isu-isu yang punya pengaruh politik yang luas. Perlukah AAI membuat ketentuan adanya proses referendum untuk menentukan sikap politik AAI terhadap sejumlah isu tertentu yang akan disampaikannya ke publik? Ini hal lainnya yang perlu kita sepakati agar AAI berkembang sebagai organisasi yang dikelola secara demokratik.
Dari waktu ke waktu, saya selalu mengingatkan, setidaknya pada diri sendiri, bahwa AAI adalah organisasi yang diurus dengan semangat sukarela. Semua pengurus AAI memiliki pekerjaan dan tanggung jawab di luar organisasi. Mereka menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk AAI di sela-sela kewajiban dan tugas lain yang juga membutuhkan tenaga dan pikiran mereka. Sementara itu AAI bukanlah seperti perusahaan yang dirancang untuk memberikan keuntungan finansial secara langsung kepada anggotanya. AAI juga, menurut hemat saya, sebaiknya tidak diposisikan sebagai lembaga konsultan untuk mengejar proyek-proyek pembangunan. Namun tidak dapat dihindari juga untuk menjadi organisasi yang berfungsi baik dan independen, AAI juga dituntut agar dapat mandiri secara finansial. Apabila tidak cukup hati-hati dalam soal ini, organisasi profesi dapat hancur kredibilitasnya bila hanya berfokus pada mengejar proyek semata. Tantangan pemenuhan kebutuhan finansial ini perlu kita pecahkan bersama. Inovasi sangat dibutuhkan agar ada jalan keluar terkait strategi penggalangan dana yang disepakati. AAI di semua level, disatu sisi perlu memiliki strategi, kegiatan, dan program yang dapat mendatangkan juga manfaat finansial untuk keperluan mengelola organisasi dengan baik tetapi strategi, kegiatan, dan program penggalangan dana ini perlu dijaga betul agar tidak malah menghancurkan jati diri AAI sebagai organisasi profesi yang memiliki integritas.
Dirgahayu AAI dalam ulang tahunnya yang ke- 39 tahun! Semoga AAI tumbuh menjadi organisasi profesi yang menjalankan dengan baik sesuai dengan cita-citanya yaitu menjadi organisasi profesi Antropologi bermanfaat bagi penciptaan tatanan sosial dan budaya yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kemajemukan, persatuan dan keadilan, dalam wadah organisasi yang mandiri, profesional dan beretika.”