oleh Pandu Wicaksana (Bidang Kapasitas Internal AAI)
Berangkat dari survei peminatan tema yang melibatkan anggota AAI, Bidang Pengembangan Kapasitas Internal (Kapin) bergerak bersama Bidang Kelompok Seminat merumuskan program peningkatan kapasitas etnografi. Fokusnya adalah etnografi kontemporer dengan varian aplikasinya dalam berbagai ranah profesi, baik di dunia pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Bidang Kapin dan Bidang Kelompok Seminat kemudian bersepakat mengimplementasikan program tersebut dalam serial webinar. Kolaborasi ini turut melibatkan Pengda Jawa Barat, yang berperan aktif mengolah rumusan tema etnografi, menyediakan akses Zoom, serta livestream pada kanal YouTube (AAI Pengda Jabar) yang mereka kelola.
Kami sangat bersemangat menyajikan seri pertama Digital Anthropology Talks bertajuk “Posisi dan Agenda Antropologi di Era Digital” bersama Profesor P.M. Laksono (Guru Besar Antropologi UGM), Nuria W. Soeharto (Antropologi FISIP UI), dan Sofyan Ansori (Peneliti Sosial).
Perubahan Super Cepat
Tidak butuh waktu lebih dari 10 tahun untuk para pakar pemasaran memutakhirkan data-data konsumsi teknologi di Indonesia. Aksesnya yang sedemikian progresif relatif mudah dikenali di sekitar kita. Mulai dari peralihan telepon genggam ke mode ponsel pintar, sistem operasi komputer yang terus diperbarui, hingga kampanye peralihan televisi analog ke digital. Mengambil contoh dari ponsel pintar saja sudah membawa kita pada riuhnya perubahan. Ponsel pintar telah meliputi (covering) fungsi kamera, kaset, bank, pak pos, bahkan bioskop. Dilengkapi dengan akses internet, mesin pencarian dalam ponsel pintar segera jadi primadona. Siap atau tidak, terjadilah perubahan perilaku sebagai respons konsumsi teknologi.
Selaras dengan perubahan perilaku, individu- individu yang saling terhubung dengan internet kemudian menyepakati model komunikasi baru. Melalui praktik-praktik berpola, maka terbentuklah perubahan kebudayaan dalam masyarakat hingga melahirkan “Masyarakat Informasi”. Percepatan konsumsi internet kemudian menimbulkan kepadatan informasi dengan risiko petaka bernama hoaks.
Menoleh fenomena konsumsi internet sepuluh tahun ke belakang memang menyiratkan percepatan yang luar biasa mendadak. Akan tetapi, kajian-kajian tentang internet sendiri sebenarnya sudah mulai berkembang sejak awal abad 21. Melalui dinamika perkembangan pengetahuan, kajian internet sahih mewakili sub-disiplin antropologi digital karena memenuhi aspek community dan cyberspace (cyberculture).
Pergerakan Termediasi
Memahami cyberculture sama juga dengan berproses mengolah big data menggunakan pisau thick description. Proses yang membawa peneliti pada upaya kritis untuk menguraikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya secara konsisten. Urgensi konsistensi inilah yang nantinya akan menjustifikasi hasil dari penelitian sehingga mampu memunculkan gagasan- gagasan alternatif tentang metode.
Bukan berarti menghasilkan etnografi atau fieldwork baru, namun memikirkan kembali beberapa elemennya secara kritis, misalnya pergeseran fieldwork selama pandemi COVID- 19. Konteks ini pantang diabaikan, karena pandemi telah mempercepat penyesuaian pada metode-metode yang relevan dan termediasi oleh perangkat digital.
Pergeseran yang nyata dihadapi yakni bergesernya fieldwork dari onsite ke online, dari fieldsite ke ‘fieldsite’, atau melakukan penelitian dari rumah (Anthropology from Home). Dengan demikian, antropologi juga harus fleksibel melihat perkembangan dunia digital. Secara metodologis, antropologi digital bisa dianggap sebagai objek riset, tools, pengetahuan, bahkan sebagai subjek riset karena fleksibilitasnya. Jadi yang terpenting bukan kategorinya, namun menjelaskan metode digital tersebut secara konsisten.
Posisi Antropologi: Pencarian “Jiwa Baru”
Rangkuman Digital Anthropology Talks Vol #1: “Posisi dan Agenda Antropologi di Era Digital” tak mungkin melupakan visi Profesor Laksono untuk mendorong antropologi pada pencarian “jiwa baru”. Dari posisinya saat ini, antropologi harus ambil bagian dalam gerakan perubahan sosial dan budaya dengan berpartisipasi dalam isu pokok yang ditelaahnya sendiri, sehingga antropologi semakin relevan bagi penyelesaian masalah sosial bangsa.
Kembali pada hakikatnya untuk memahami aneka ragam umat manusia dalam membangun dan mengembangkan komunitasnya menggunakan perangkat-perangkat kebudayaan, antropologi harus mengembalikan kemanusiaan secara utuh melalui pendekatan holistic. Jadi, antropologi harus sadar untuk membangun kritik atas subjek, baik diri sendiri maupun yang diteliti, karena sejatinya antropologi adalah ilmu yang mengawal proses. Sampai jumpa pada seri Digital Anthropology Talks selanjutnya. Salam Kerabat.